Kamis, 01 April 2010

REFORMASI= TRANSISI DEMOKRASI ?

Membicarakan gerakan reformasi di Indonesia, menyimpan banyak misteri yang belum terungkap, baik yang menyangkut politik, hukum, ekonomi maupun hubungan internasional. Bila tidak ada pemecahan masalah yang strategic dan akumulasi persoalan ini menjadi sebuah gelindingan ‘bola salju’ yang dari hari ke hari semakin besar membengkak. Oleh karena itu, masalah yang akan berkembang bukan hanya persoalan kapan badai krisis ini berakhir, namun jug termasuk ke mana arah perjalanan bangsa ini akan mengarah ?.
Paska tumbangnya kekuasaan Soeharto (bukan rejim Orde Baru), persoalan transisi demokrasi kemudian menjadi permasalahan mendesak bagi gerakan pro perubahan, sebuah gerakan yang kelak akan melahirkan masyarakat madani. Transisi demokrasi dimaknai sebagai penguatan kapasitas ekonomi-politik rakyat yang menyaratkan adanya kebebasan dalam mengekspresikan hak-hak sosial-ekonomi-politik. Masih dibatasinya kebebasan dalam mengungkapkan hak-hak sosial politik, serta belum tersedianya infrastuktur ekonomi-politik dalam gerakan pro demokrasi menyebabkan ia tertinggal jauh oleh manuver-manuver elit politik yang memegang klaim reformis.
Keadaan ini menyebabkan beberapa targetan dari transisi demokrasi tidak tercapai. Gerakan pro demokrasi tetap berdiri di pinggir panggung dan konsolidasi massa yang sempat menguat hingga pasca kejatuhan Soeharto, akhirnya mengalami pelemahan, bahkan dari dua sisi sekaligus. Sisi pertama, apa yang di tandaskan di atas yakni, ketiadaan infrastuktur ekonomi-politik dari gerakan pro demokrasi yang menyebabkan tidak pada posisi siap tempur menghadapi demokrasi liberal. Adapun sisi kedua, masih kokohnya bangunan rejim Orde Baru dalam beberapa bidang antara lain politik (partai Golkar dan partai orbais lainnya masih eksis dan semakin kuat), ekonomi (bisnis militer, korupsi kroni dan keluarga Soeharto yang belum terselesaikan).
Namun, reformasi ‘98 juga telah memberikan banyak perubahan sistem politik yang signifikan seperti pemilihan presiden langsung, pemilihan kepala daerah (PILKADA) langsung, menguatnya tatanan balance of power ala borjuasi yang terwujud dalam berbagai lembaga baru, dan sebagainya. Pada saat yang sama, tatanan ekonomi kapitalistik semakin diperkuat melalui produk perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan negara lainnya. Lengkaplah sudah hegemoni politik borjuasi dalam perpolitikan Indonesia hari ini. Secara umum ada dua tantangan yang dihadapi oleh gerakan pro perubahan, sebagai cikal bakal terbentuknya masyarakat madani, pasca tumbangnya Soeharto dan dalam menghadapi hegemoni demokrasi liberal prosedural: depolitisasi massa warisan Orba dan Demokrasi Liberal dan Apolitisasi Massa
Penguatan kapasitas ekonomi-politik rakyat menjadi sangat penting karena rejim Orde Baru mewarisi suatu tatanan masyarakat yang depolitis (dilemahkan kekuatan dan kesadaran politiknya) akibat dari sistem politik yang otoriter. Selama 32 tahun rakyat Indonesia tidak memiliki kanal politik alternatif, yang dimanifestasikan (salah satunya) dengan adanya partai politik yang sepenuhnya memiliki visi dan misi berbeda dengan partai penguasa. Hal tersebut tentunya tak bisa dilepaskan dari absolutisme militer dan modal khas Orde Baru yang didukung dengan mesin politik bernama Golongan Karya. Kuatnya gejala depolitisasi massa pada rejim Orde Baru juga bisa kita lihat dari organisasi-organisasi yang ada pada waktu itu. Karakter organisasi yang muncul pada jaman Orde Baru adalah organisasi yang korporatis terhadap rejim seperti KNPI untuk pemuda, HKTI untuk petani, SPSI untuk buruh, SMPT untuk mahasiswa, dsb. Kondisi ini di kemudian hari memunculkan pragmatisme massa dan semakin menguatkan kelompok status quo.
Tumbangnya Soeharto sempat mencairkan kebekuan politik tersebut namun, belum menjawab persoalan depolitisasi yang juga sedang terjadi di tengah rakyat. Munculnya berbagai organisasi massa maupun partai politik yang ingin tampil “sepenuhnya berbeda” pada tingkat lokal, memang sempat menjadi muara bagi massa rakyat. Namun, harus diakui organisasi-oraganisasi ini belum mampu berbicara pada skala nasional. Keadaan ini secara horisontal bermakna, tidak ada kekuatan atau organisasi yang memiliki anggota dan massa yang cukup besar untuk dapat bertarung secara riil dalam persoalan keseharian massa di tingkatan bawah.
Kondisi ini kemudian menghadirkan persoalan yang lebih berbahaya, perjuangan politik menjadi ditabukan dan lebih memilih perjuangan ekonomi. Kekecewaan terhadap gerakan politik—yang hasilnya selalu diambil oleh borjuasi oportunis atau elit politik—membuat gerakan sosial kemudian malas merambah ke dunia yang seharusnya menjadi medan pertarungannya yang sesungguhnya. Cukup sering kita dengar dari berbagai kalangan – LSM, kelompok Pekerja, Kelompok Tani, atau kelompok pengorganisiran sosial lain- yang menyatakan bahwa urusan mereka adalah soal bagaimana anggota atau massa yang diorganisirnya sejahtera sedangkan soal politik itu urusan gerakan mahasiswa atau partai politik. Suatu pernyataan yang benar secara prinsip namun salah dalam pemahaman. Benar tugas organisasi adalah membuat anggota atau kelas yang diorganisirnya mencapai kesejahteraan tetapi, salah jika melupakan bahwa kesejahteraan hanya dapat diperoleh apabila kekuasaan politik telah direbut oleh kelas yang akan menghapuskan penindas


Tidak ada komentar:

Posting Komentar