Selasa, 11 Mei 2010

FENOMENA GEOGRAFI BENTUK BUMI DITINJAU DAR KARL POPER & TOMAS KHUN

FENOMENA GEOGRAFI
BENTUK BUMI
DAN KARL POPPER


A. PENDAHULUAN
Sebelum abad ke- 15, pada saat itu manusia beranggapan bahwa bumi ini datar, hal ini di dukung oleh Samuel Birley Rowbotham (1816-1884) menggunakan nama alias Parallax dan mendirikan sekolah baru astronomi Zetetic, dia berkeliling Inggris untuk menyebarkan teori bahwa Bumi adalah piringan yang statis dan Matahari hanya 400 mil jauhnya.
Di tahun 1870 an, penulis Kristen John Hampden menerbitkan sejumlah karya mengenai Bumi yang rata dan menggambarkan Isaac Newon sebagai pemabuk atau gila. Dan semangat serangan ini pun terus hidup hingga sekarang.


Bukti bahwa bumi ini rata adalah ketika melihat perahu berlayar semakin jauh semakin tidak terlihat dan akan jatuh.



Padahal, sejak abad ke 4 sebelum Masehi orang sudah tahu bahwa bumi itu bundar, dan keyakinan ilmiah bahwa kita sebenarnya hidup di atas pringan tidak muncul hingga jaman ratu Victoria.
Dan bagi pengamat paruh waktu, sulit menerima bahwa semua ini bukan keanehan di abad ke 21. Bukankah semua anak sekolah tahu bahwa kapal bisa menghilang di horison dan bahwa satelit mengorbit bumi.
Mitos bumi rata masih menjadi puncak dalam kehidupan penganut teori konspirasi. Dan menurut Garwood disaat kita memiliki rasa antipati terhadap otoritas kelompok flat-earthers memperlihatkan situasi bisa menjadi lebih buruk.
Untuk mempertanyakan bagaimana kita tahu yang kita ketahui adalah bagus, tetapi bagus juga jika kita memiliki kemampuan menerima bukti kuat - seperti foto bumi dari ruang angkasa.
Pada abad ke 21, istilam flat-earther digunakan untuk menggambarkan seseorang yang secara spektakuler - dan nekad - acuh tak acuh. Namun ada sekelompok orang yang menyatakan yakin planet ini rata. Apakah kelompok ini benar ada atau hanya lelucon belaka? Nasa merayakan hari jadinya yang ke lima puluh dengan keramaian dan gambar-gambar mengenai kejayaannya di masa lalu.
Namun, diantara gambar selama setengah abad itu, hanya satu yang mencolok. Tanggal 24 Desember 1968, awak misi Apollo 8 mengambil foto yang sekarang dikenal dengan nama Earthrise, bumi muncul.
Bagi banyak orang, gambar bumi bulat berwarna biru yang indah yang diambil dari sisi orbit bulan merupakan gambaran sempurna pentingnya misi ke ruang angkasa. Namun, itu tidak dipercaya oleh semua orang.
Ada sekelompok orang yang mengatakan gambar itu palsu - bagian dari konspirasi dunia oleh badan ruang angkasa, pemerintah dan ilmuwan. Selamat datang ke dunia flat-earther, mereka yang percaya bumi rata.
Tetapi apakah memang masih ada orang yang percaya dunia ini rata sekarang? Tentunya di era eksplorasi ruang angkasa - saat satelit mengambil foto planet kita yang biru dan bulat dari ruang angkasa, dan robot mengirim info soal tanah dan air di Mars - tidak mungkin masih ada orang yang secara serius percaya bumi ini rata.
Salah. Teori bumi rata masih beredar dan dipercaya. Di internet dan tempat pertemuan kecil di Inggris dan Amerika, kelompok peyakin bumi rata bertemu untuk menantang konspirasi bahwa bumi bulat.
Orang sudah jelas berprasangka buruk terhadap kaum flat-earther, ujar John Davis, yang percaya pada teori bumi rata yang berbasis di Tennessee, merujuk pada iklan Microsoft yang baru itu.
Banyak orang mempergunakan istilah 'flat-earther' untuk melecehkan, dan dihubungkan dengan kepercayaan membabi buta, sikap tak acuh dan bahkan anti intelektualisme.
John Davis adalah seorang pakar komputer yang berasal dari Kanada, dia pertama tertarik dengan teori bumi rata setelah membaca sejumlah buku dari Masyarakat Bumi Rata beberapa tahun lalu. Saya kemudian sadar betapa kita gampang menerima, ujarnya. Kita manusia tampaknya cukup puas dengan menerima apa yang diberitahu, tidak perduli informasi itu bertentangan dengan perasaan kita.
Davis sekarang yakin bumi rata dan horisontal - bumi akan terus horisontal selamanya. Dan dengan kedalaman setidaknya 9.000 kilometer, tambahnya.
James McIntyre, moderator situs diskusi Mayarakat Bumi Rata di Inggris, memiliki pandangan sedikit berbeda. Bumi sedikit banyak seperti piring, ujarnya. Bumi tidak benar-benar rata karena fenomena geologi seperti bukit dan lembah. diameternya sekitar 24.900 mil. McIntyre, yang mengaku dibuat menjadi penganut bumi bulat dalam sistem pendidikan sekolah negeri Inggris mengatakan reaksi teman dan keluarga terahadap kepercayaan barunya itu bervariasi, mulai dari rasa tidak percaya sampai yakin ini hanya lelucon.
Jadi berapa banyak flat-earthers saat ini? Baik Davis maupuan McIntyre tidak yakin benar. Davis mengatakan sedang membuat gudang informasi online untuk membantu komunitas Flat Earth setempat menjadi komunitas global. Maafkan penggunaan istilah 'global' ini, ujarnya.
Bagaimana dengan foto-foto dari ruang angkasa yang memperlihatkan, tanpa diragukan lagi, bahwa Bumi itu bulat? Badan ruang angkasa berkonspirasi secara internasional untuk menipu publik guna mendapat keuntungan besar,ujar McIntyre. John Davis juga mengatakan foto-foto itu palsu.
Dan bagaimana dengan fakta bahwa tidak ada orang yang pernah jatuh di dunia yang dinyatakan berbentuk piringan ini?
McIntyre tertawa. Ini mungkin pertanyaan yang paling sering ditanyakan, ujarnya. Dengan melihat peta bumi yang rata pertanyaan itu bisa dijelaskan dengan mudah - Kutub utara di tengah dan antartika terdiri dari seluruh keliling Bumi. Navigasi keliling dunia adalah perjalanan panjang memutar di atas permukaan bumi.
Davis mengatakan menjadi flat-earther tidak berdampak pada kehidupannya. Kami tidak takut sama sekali dengan pesawat atau model transportasi lain, ujarnya. Christine Garwood, pengarang buku Flat Earth: The History of an Infamous Idea, tidak terkejut dengan fakta bahwa kelompok flat-earthers menolak bukti-bukti bahwa planet kita ini bulat.
Inti teori bumi rata sebenarnya adalah teori konspirasi, ujarnya. Wajarlah, kelompok yang percaya bumi rata memandang pendaratan di bulan palsu, demikian juga foto-foto dari ruang angkasa.
Mungkin salah satu yang paling mengejutkan dalam buku Garwood adalah dia mengungkapkan bahwa teori bumi rata secara relatif merupakan fenomena modern.
Garwoon mengatakan semua orang hingga jaman kegelapan percaya bumi rata merupakan kesalahan bersejarah, dan kemudian ide gila ini pupus setelah Christopher Columbus berhasil berlayar ke Amerika tanpa jatuh di ujung dunia.
Teori bumi rata menjadi primadona di abad ke 19 di Inggris, dengan kebangkitan rasionalisme ilmiah yang tampaknya mengancam otoritas Injil, sejumlah pemikir Kristen melancarkan serangan terhadap dunia ilmiah.

“Penjelajahan Samudera” adalah abad dimana banyak ditemukan daerah-daerah baru juga jalur-jalur pelayaran baru menuju dunia timur untuk mencari rempah-rempah. penjelajahan ini dilakukan oleh dua negara Eropa yaitu Portugal dan Spanyol. Motif penjelajahan ini yaitu:
Gold/Emas, ini disebabkan karena berkurangnya persediaan emas di Iberia, selain itu juga karena saat itu Eropa menganut sistem ekonomi Merkantilisme yang menentukan kaya tidaknya suatu negara lewat persediaan emasnya.
Glory/Kejayaan, pada saat itu kejayaan sebuah negeri bergantung dari besarnya imperium
Gospel/Adanya misi suci penyebaran Agama Kristen.
Selain 3 penyebab tersebut, jatuhnya Konstantinopel makin mendorong mereka untuk mencari rempah-rempah sendiri. Mereka yang asalnya berdangang di sana pada saat itu hanya mau berdagang paling jauh di Italia (Genoa, Venesia, dll).
Saat itu Paus membagi dunia yang saat itu dianggap datar menjadi 2 bagian dengan “Perjanjian Tordesillas”. Bagian Timur untuk Portugal dan Barat untuk Spanyol.
Ternyata Portugal yang berlayar ke arah Timur sampai ke Indonesia melalui Selat Malaka, masuk ke Aceh dan selanjutnya ke Timur (Demak) dan sampailah di Maluku tahun 1521. Dan disanalah bertemu dengan kapal Magelhan (Spanyol) yang berlayar ke arah Barat, melalui Selat Magelhaen di Malvinas/Falkland terus ke Samudera Pasifik sampai di Phlipina. Dan di Ternatelah Spanyol dan Portugis bertemu pada tahun 1521. Maka berdasarkan kejadian tersebut, menyadarkan bahwa bumi ini bundar dan anggapan bahwa bumi rata menjadi gugur.


B. DITINJAUAN DARI THOMAS KHUN

PARADIGMA I PARADIGMA II

Normal Anomalies Crisis Revolution New Normal
Science Science


Perubahan paradigma tentang bumi ini rata menjadi bumi ini bundar menurut tinjauan Thomas Khun adalah :

Paradigma I : Bumi ini rata, bulat, datar.
Normal Science : Teori ini didasarkan pada alasan sejauh pandangan mata manusia pada bentangan alam yang hanya tampak garis yang sangat jauh. Serta perahu yang berlayar menghilang dari pandangan manusia dan di percaya bahwa perahu itu terjun jatuh dari permukaan bumi.
Anomalies : Ketika manusia melihat perahu yang berlayar semakin lama semakin turun, dan saat itu berpandangan apakah perahu tersebut benar-benar jatuh? Karena pada batas pandang manusia perahu tersebut tidak terlihat lagi.
Krisis : Pada masa manusia melakukan penjelajahan, diantara mereka banyak yang tidak kembali tanpa kabar, hal ini menjadi anggapan bahwa mereka jatuh sehingga mengendurkan hasrat manusia untuk berjelajah. Namun ketika melihat matahari yang beredar, terbit pada pagi hari dan kemudian tenggelam, lalu keesokan harinya terbit lagi serta melihat bintang-bintang serta bulan yang muncul hanya pada malam hari saja, hal in menimbulkan pertanyaan besar. Apakah bumi ini benar-benar datar?
Revolusi : Ketika saat itu ilmu pengetahuan dijadikan keabsolutan gereja, terdapat beberapa pemikir yang berpangangan bahwa bumi ini bundar. Pencetusnya saat itu adalah Nicolas Copernicus, namun pandangan tersebut dianggap sebagai penentang absolut gereja. Pada penjelajahan dengan tujuan pencarian kekayaan berupa emas, masa imperium serta misi penyebaran kristen, Paus membuat perjanjian Tordesillas membagi dunia yang saat itu dianggap datar menjadi 2 bagian, yaitu; bagian Timur untuk Portugal dan Barat untuk Spanyol. Namun ternyata Spanyol dan Portugis bertemu di Indonesia, tepatnya Maluku di Kerajaan Ternate. Maka teori dari Copernicus tentang bumi ini bundar, menjadi terbukti dan anggapan bahwa bumi ini datar menjadi gugur.
New Science Normal : Banyak para ilmuwan, terutama ilmuwan astronomi membuktikan bahwa bumi ini bundar. Antara lain Nicolas Copernicus, Keppler, Titius Bode, Immanuel Kant dan sebagainya.
Paradigma II : Sampai saat ini, dinyatakan bahwa bumi ini bundar seperti bola.



C. TINJAUAN KARL POPPER

Masalah

Teori

Ramalan

Tes / Eksperimen

Teori (tidak difalsifikasikan) Teori (Berhasil difalsifikasikan)

Teori sementara waktu Teori dibuang;
diterima Masalah baru


Perancangan pengujian Diciptakan Teori
yang lebih kuat Baru

Kamis, 01 April 2010

Etnisitas dalam pembentukan “ nation and character building” Indonesia

PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Dewasa ini Indonesia berada di tengah era baru, yang dinamakan era reformasi. Kondisi bangsa kita di era reformasi ini, antara lain ditandai dengan beberapa fenomena yang mengemuka sebagai tantangan di berbagai bidang, baik di bidang ekonomi, politik, dan sosial budayanya.
Masalah-masalah kita sebagai bangsa memang kompleks, seiring dengan makin berkembangnya dinamika zaman, seperti arus globalisasi yang demikian mengalir secara deras dan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bangsa. Kebudayaan Indonesia yang menjadi identitas etnis atau suku bangsa yang tadinya dianggap mempunyai batas- batas yang jelaspun kini juga berubah. Perubahan ini berkaitan dengan faktor geografis dan nilai-nilai yang dibagi bersama yang dianggap pengikat dalam membentuk masyarakat. Faktor geografis berkaitan dengan wilayah geografis etnis yang tidak lagi terbatasi. Seperti orang Jawa yang ada di Suriname atau orang Cina di Kalimantan. Batas-batas geografis itu tidak lagi menjadi jelas karena tingkat mobilitas gerak orang sudah demikian meluas dan intensifnya. Demikian pula dengan faktor nilai-nilai yang dibagi bersama menjadi nilai-nilai yang sifatnya universal antar etnis, bahkan antar bangsa, sesuai dengan konteks dan setting sosial yang berbeda.
Sementara itu, Prof HAR Tilaar yang merupakan tokoh pendidikan nasional menilai, “Menjadi Indonesia itu memerlukan waktu yang cukup panjang. Indonesia kita ini terdiri dari banyak suku bangsa atau etnis, dari etnis inilah kita bersama-sama bertekad untuk membangun Indonesia. Jadi, dasar dari Meng-Indonesia itu adalah Etnisitas yang dikembangkan dalam Bhinneka Tunggal Ika,” terangnya. Saat ini yang namanya Indonesia itu masih belum dapat dicapai, tetapi kita masih dalam proses untuk menjadi Indonesia. Oleh karena itu ‘Meng-Indonesia’ itu merupakan suatu proses menjadi Indonesia yang di dalam sejarah perkembangan manusia, naik turun di mana kadang kuat dan kadang melemah.
Apabila kita menengok kembali pada perjalanan sejarah bangsa Indonesia, khususnya pada periode perjuangan kemerdekaan, selama periode tersebut masyarakat dan para pemimpin perjuangan memunculkan sifat-sifat istimewa mereka. Kualitas istimewa inilah yang dibangkitkan, dipupuk, dikuatkan oleh para pejuang kemerdekaan, yang akhirnya mengantarkan masyarakat yang tinggal di ribuan pulau ’zamrud kalutistiwa’ ini, yang sangat beraneka ragam baik dari sisi suku, agama, alam, dan budaya, memproklamirkan diri sebagai satu negara dan bangsa, yaitu Negara dan Bangsa Indonesia. Kualitas istimewa itu mencakup kesepakatan kuat mengenai cita-cita bersama, semangat persatuan, penghargaan atas kebhinekaan, kesediaan berkorban, berani kerja keras, ketulusan, solidaritas, dan rasa percaya diri. Ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia bukan bangsa yang secara histotris adalah bangsa tak bermutu. Masyarakat Indonesia memiliki kualitas atau kekuatan yang apabila dipupuk dan dikembangkan dapat mengantarnya kepada kemajuan.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, rasa persatuan atau kohesivitas bangsa sangat kuat karena ketika itu musuh bersama rakyat Indonesia sangat jelas yaitu penjajah Belanda. Di samping itu, persatuan menjadi makin kuat karena cita-cita yang hendak dicapai bersama juga sangat jelas yaitu Indonesia Merdeka. Namun kedaaan menjadi berbeda sesudah Proklamasi Kemerdekaan. Kohesivitas menurun karena kepentingan golongan menjadi menonjol di atas kepentingan bersama. Pemberontakan demi pemberontakan yang mengancam kesatuan RI terjadi, seperti konflik internal maupun eksternal antar suku, ras, bahkan agama. Inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong timbul permusuhan antar suku, antar kelompok agama dan antar daerah. Semangat persatuan yang sangat kuat di masa lalu menjadi makin lemah dan bersamaan dengan itu semangat untuk menonjolkan diri sendiri menguat. Makin lemahnya kohesivitas bangsa juga disebabkan oleh makin kaburnya atau tidak adanya cita-cita bersama yang disepakati bersama yang dapat menggugah semua komponen bangsa untuk berjuang bersama dengan tidak mempersoalkan perbedaan yang ada diantara komponen yang bersangkutan. Tidak ada lagi yang namanya ’Indonesian Dream’ yang memberi inspirasi dan mengikat rakyat Indonesia untuk berjuang bersama.
Konsep Indonesia sebagai bangsa, yang mengacu kepada sejarah, kebudayaan, bahasa, dan karakter etnik yang relatif sama mulai diperdebatkan kembali. Fenomena ini muncul sebagai akibat rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat etnik-etnik tertentu karena dominasi pusat kepada daerah, yang kemudian berkembang menjadi dominasi suku bangsa tertentu kepada suku bangsa yang lain. Rasa ketidakadilan ini kemudian berujung kepada konflik-konflik sosial antar etnik (Parsudi Suparlan, 1999: 8-17). Rasa ketidakadilan tersebut memunculkan keinginan etnik-etnik tersebut untuk melepaskan diri dari kesepakatan mereka untuk berbangsa dan bernegara yang sama, yaitu Indonesia. Munculah Papua merdeka, Aceh Merdeka dan lain-lain.
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh Etnisitas itu sendiri terhadap pembentukan “nation and character building” Indonesia?
2. Bagaimana dampak globalisasi terhadap etnisitas di Indonesia saat ini?
3. Bagaimana pengaruh demokrasi terhadap etnisitas di Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
3. Prosedur Pemecahan Masalah
Indonesia bukan hanya nama sebuah negara, tetapi juga sebuah bangsa yang memiliki sebuah realitas objektif baik dari segi geografisnya, budayanya, keragaman penduduknya, adat-istiadat dan agamanya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk (plural), kaya akan berbagai etnis didalamnya. Keanekaragaman merupakan perbedaan yang cukup kompleks dan tantangan ini bukan tidak mungkin menjadi bumerang sehingga dapat memecah belah bangsa ini.
Dalam memasuki era globalisasi, bangsa Indonesia yang sangat majemuk ini harus mempersiapkan diri demi kelangsungan hidupnya. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diketahui antara lain, gambaran kehidupan di era globalisasi, tuntutan dan peluang apa saja yang ada di dalamnya dan bagaimana meresponsnya. Untuk itu, perlu diadakan tinjauan budaya untuk mengetahui apakah budaya Indonesia yang ada sekarang ini sudah siap mengahadapi era globalisasi. Budaya yang dapat menghadapi tuntutan seperti itu adalah budaya yang tangguh, sehingga ia dapat menghimpun potensi dari seluruh rakyat yang majemuk untuk menghadapi tantangan dari luar. Kemajuan di bidang komunikasi dan transportasi membuat dunia makin terbuka dan batas-batas atau sekat-sekat yang memisahkan satu bangsa dari bangsa lain makin memudar, memaksa masyarakat Indonesia untuk bergaul dengan masyarakat negara lain. Agar manusia Indonesia dapat berfungsi sebagai warga negara secara efektif dalam masyarakat Indonesia modern, ia perlu memperhatikan dan mengindahkan nilai-nilai yang diyakini dan dianut oleh pemikiran modern dewasa ini, antara lain, nilai-nilai yang terdapat dalam konsep demokrasi.
Terjadinya konflik nilai dalam kelompok masyarakat budaya Indonesia dewasa ini dapat diamati. Konflik itu dapat terbuka dan dapat pula terpendam. Di satu sisi dipaksa untuk mengikuti nilai-nilai atau norma-norma yang baru, dan di sisi lain masih terikat dengan nilai-nilai atau norma-norma tradisional. Maka dari itu, masuknya budaya asing tentunya harus memperkaya kebudayaan Indonesia, diambil nilai positifnya, perubahan pola pikir tradisional menjadi pola pikir rasional, sistematis, dan analitis.
Semua potensi yang terdapat dalam masyarakat Indonesia hendaknya dapat ditampung dalam wadah yang disebut budaya nasional Indonesia, yaitu budaya yang mengakui kebinekaan yang terdiri atas budaya-budaya etnis, dalam rangka mewujudkan pembangunan karakter bangsa Indonesia, membentuk ‘nation and character building’ Indonesia yang lebih baik.
4. Sistematika Makalah
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
3. Prosedur pemecahan masalah
4. Sistematika Makalah
B. Tinjauan teoritis
A. Pengertian etnis, etnisasi dan ‘nation and character building’
C. Pembahasan
A. Pengaruh etnisitas terhadap pembentukan “nation and character building” Indonesia
B. Dampak globalisasi terhadap etnisitas di Indonesia saat ini
C. Pengaruh etnisitas terhadap demokrasi di Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
D. Kesimpulan
1. Kesimpulan
2. Saran
E. Daftar Pustaka


BAB II
TINJAUAN TEORITIS
1. Pengertian etnis, etnisasi dan ‘nation and character building’
a. Etnis
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnis atau etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.
Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang mampu melestarikan kelangsungan kelompok dengan berkembang biak. Mempunyai nila-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.
Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.
Schemerhon dalam Purwanto (2007) mendefinisikan etnik sebagai kolektiva yang memiliki persamaan asal nenek moyang, baik secara nyata maupun semu, memiliki pengalaman sejarah yang sama, dan suatu kesamaan fokus budaya yang terpusat pada unsur-unsur simbolik yang melambangkan persamaan ciri-ciri fenotipe, religi, bahasa, pola kekerabatan, dan gabungan unsur-unsur itu.
b. Etnisitas
Etnisitas adalah suku bangsa, yakni berkaitan dengan kesadaran akan kesamaan tradisi budaya, biologis, dan jati diri sebagai suatu kelompok (Tilaar, 2007:4-5) dalam suatu masyarakat yang lebih luas.


c. Nation and character building
Nation and character building merupakan pembangunan karakter dan bangsa. Ernest Renan berpendapat, nation atau bangsa ialah suatu solidaritas besar, yang terbentuk karena adanya kesadaran akan pentingnya berkorban dan hidup bersama-sama di tengah perbedaan, dan mereka dipersatukan oleh adanya visi bersama. Sedangkan arti karakter itu sendiri berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang punya kualitas moral (tertentu) yang positif. Dengan demikian, pembangunan karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk, khususnya disini bangsa yakni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengaruh Etnisitas terhadap pembentukan “nation and character building” Indonesia
Bangsa itu sendiri hadir, bukan dikarenakan adanya kesamaan budaya, suku, ras, etnisitas dan agama saja, tetapi lebih pada adanya kesamaan nasib dan keinginan untuk hidup bersama dalam sebuah komunitas bangsa. Dalam konteks ini yaitu sebuah komunitas di mana realitas pluralisme atau kenyataan kemajemukan bangsa dengan berbagai etnis dan kebudayaan yang ada bukan lagi dipandang sebagai masalah, tetapi sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, dan justru merupakan modal utama bangsa itu.
Nasionalisme atau rasa dan tanggung jawab kebangsaan tersebut merupakan sesuatu yang penting di dalam proses “character and nation building”. Tidak ada bangsa hadir tanpa nasionalisme, tentu saja dengan kadar dan konteks masing-masing, sesuai dengan histori dan banyak faktor yang mempengaruhinya. Nasionalisme dan proses berbangsa, justru baru dimulai dan memperoleh tantangan-tantangan baru setelah bangsa itu sendiri hadir, dengan berbagai adat istiadat dan segala keunikannya yang dapat membentuk pembangunan karakter bangsa Indonesia dengan ciri dan karakteristik yang milikinya, yang tentunya tetap satu berbhineka tunggal ika.
Kesadaran nasionalisme Indonesia itu sendiri sebagai proses dalam mencapai pembangunan karakter bangsa tak lepas dari era kebangkitan nasional 1908, dan Sumpah pemuda 1928 yang telah meninggalkan dokumen amat mendasar sebagai wujud dari adanya kesamaan nasib dan solidaritas bersama untuk bertanah air, bertumpah darah, dan berbahasa satu, bahasa Indonesia. Jadi rasa meng-Indonesia tumbuh atas kesadaran bersama segenap elemen yang ada untuk bersama-sama mewujudkan, memelihara dan memajukannya, tanpa memandang etnis atau suku manapun, yang seharusnya itu semua menjadi satu yakni pemersatu bangsa Indonesia. Indonesia hadir bukan atas pemberian kaum penjajah. Ini suatu modal sejarah yang amat berharga.
Di atas telah disinggung bahwa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari beragam suku bangsa, etnisitas, bahasa, agama, dan adat-istiadat, yang satu sama lain saling memperkaya bangunan kebangsaan yang plural dan kokoh. Dengan kata lain, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Komposisi keragaman dan kemajemukan bangsa merupakan suatu realitas objektif, yang merupakan modal berharga bagi pembentukan jati diri dan karakter bangsa, yang mana diikat pula oleh konsensus dasar Negara kita yaitu Pancasila.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ada pada saat ini memiliki sejarah yang panjang, mengalami beberapa fase penjajahan bangsa asing. Dengan pengalaman yang panjang tersebut, para Bapak Bangsa (The Founding Father’s) merumuskan konsepsi dasar yang tepat bagi kehadiran sebuah negara dan bangsa baru bernama Indonesia. Sejak kemerdekaannya 17 Agustus 1945 hingga kini, sesungguhnya bangsa Indonesia tengah berupaya untuk memperkokoh “nation and character building”. Sebagai bangsa yang telah berusia setengah abad lebih, Indonesia terus berproses dan berkembang seiring dengan “nation and character building” tersebut. Selama ini bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang harmonis, ramah, dan tingkat toleransi yang tinggi. Kesan demikian, khususnya pada era reformasi tampak kian pudar, seiring dengan munculnya banyak konflik sosial secara horisontal di kalangan masyarakat, dan banyaknya kerusuhan sosial yang terjadi. Tentu saja berbagai kejadian yang muncul tersebut menodai proses “nation and character building”. Kini saatnya bangsa Indonesia menunjukkan kembali karakternya sebagai bangsa yang ber-Pancasila dan bermartabat.
Betapapun kompleksnya tantangan yang kita hadapi, kita harus tetap mencintai bangsa ini. Bangsa di mana kita dilahirkan dan dibesarkan, dengan berbagai macam etnis didalamnya yang tentunya dapat menjadi pengaruh positif bagi pembentukan pembangunan karakter bangsa disertai satu bahasa nasional, satu dasar Negara yaitu Pancasila yang menjadi pemersatu bangsa, yang memberikan harapan akan masa depan bagi kita semua, bangsa Indonesia. Dan kita pun harus mengembangkan rasa tanggung jawab, di samping secara mendasar kita harus memahami hakikat Indonesia sebagai sebuah bangsa yang memiliki nilai-nilai dasar (basic values) Pancasila, sebagai karakter bangsa Indonesia yang diharapkan, yakni bangsa yang: (1) Ber-Ketuhanan yang Maha esa; (2) Ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Senantiasa berada dalam Persatuan indonesia; (4) Melaksanakan Permusyawaratan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (5) Mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Inilah konsensus dasar kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Etnisitas dalam konteks Indonesia akan dapat berperan penting di dalam pembentukan karakter pembangunan bangsa. Hal-hal di atas adalah realitas-realitas obyektif atau kenyataan-kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa Indonesia adalah negara besar dan plural. Besar karena, wilayahnya yang amat luas dan jumlah penduduknya yang demikian banyak. Plural, karena kenekaragaman budaya (suku/etnis, ras, adat-istiadat, bahasa dan agama). Faktor etnisitas tadi jika ditransformasikan secara produktif, akan menyumbangkan pertumbuhan kehidupan demokrasi yang baik dan menjadi ciri karakteristik bangsa dengan berbagai budayanya yang ada,namun tetap berbhineka tunggal ika. Tetapi juga sebaliknya bisa memicu konflik jika setiap kelompok gagal membangun sikap solidaritas sebagai warga Negara dan bangsa (nation-state).

B. Dampak globalisasi terhadap etnisitas di Indonesia saat ini
Globalisasi mempunyai dampak besar melonggarkan dan dapat pula melepaskan ikatan etnis dan agama. Kemajuan komunikasi dan ilmu pengetahuan, menurut Kleden, bisa menjauhkan atau mengasingkan dan mendekatkan kita. Pertama, terjadi perenggangan ikatan etnis dan religius. Orang dari berbagai etnis dan agama berbeda bisa saja bersatu dan bekerja sama menanggapi keprihatinan kemiskinan, misalnya. Globalisasi mendorong terbentuknya persekutuan-persekutuan baru yang mungkin jauh lebih mengikat daripada kelompok-kelompok tradisional. Kedua, terjadi penguatan ikatan etnis-religius. Globalisasi tidak saja melonggarkan, tetapi dapat pula mendorong menguatnya kembali ikatan kesukuan dan keagamaan. Hal itu dimungkinkan dua hal. Pertama, pencarian kepastian dan identitas. Orang lalu kembali kepada identitas lama. Kedua, reaksi terhadap tekanan dan dominasi yang tidak adil atau pengalaman ketertindasan. Penindasan itu bisa terjadi pada level global ini, nasional, dan lokal.
Basirun Samlawi juga melihat globalisasi telah mempengaruhi identitas kesukuan dan religius masyarakat modern. Migrasi penduduk yang makin cepat oleh penemuan teknologi komunikasi dan transportasi tidak saja menggeserkan nilai-nilai, tetapi juga mengubah komposisi penduduk. Masyarakat yang sebelumnya mayoritas berubah jadi etnik minorita.
Akibat dari interaksi ini, terjadi dialektika pemikiran dan pemahaman yang mendorong terjadinya tafsiran baru mengenai agama, budaya, dan politik. Perubahan ini mengakibatkan disorientasi nilai dan kultural. Tidak banyak orang siap memasuki global village atau global city ini. Mereka mencari bentuk hubungan lama baik budaya maupun agama yang memberi mereka rasa aman dan identitas.
Etnisitas yang pada awalnya disikapi sebagai penggambaran keseluruhan atau totalitas cara hidup, kegiatan, keyakinan-keyakinan, adat istiadat dari sebuah komunitas atau masyarakat, yang disebut dengan kebudayaan, kini menjadi sulit untuk didefinisikan. Demikian juga, pengertian kebudayaan nasional Indonesia yang disikapi sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah, kini sungguh sulit untuk diimplementasikan. Pendek kata, negara dan bangsa Indonesia hari ini, secara kultural tidak bisa lepas dari fragmentasi global yang kekuatannya nyaris tak terelakkan.
Di sisi lain dengan adanya dominasi tersebut justru memberi kontribusi memudarnya identitas yang selama ini dijadikan karakteristik sejumlah suku bangsa negeri Nusantara ini. Atau dengan kata lain, fragmentasi global yang kekuataannya tak terelakkan tersebut di satu sisi justru memberi kontribusi memudarnya identitas yang selama ini dijadikan karakteristik sejumlah suku bangsa negeri Nusantara ini. Disisi lain, harus diakui pula bahwa globalisasi pun bisa memberi dampak positif. Misalnya, masuknya budaya asing yang memperkaya kebudayaan Indonesia, perubahan pola pikir tradisional menjadi pola pikir rasional, sistematis, dan analitis. Selain itu, globalisasi justru akan menambah berkembangnya ilmu pengetahuan dan cara berpikir kritis. Tantangan bagi bangsa Indonesia akibat globalisasi memang mengancam eksistensi jati diri bangsa Indonesia. Sebut saja terjadinya guncangan budaya (cultural shock). Globalisasi tidak sepenuhnya memperlebar ruang bagi bertumbuhnya masyarakat terbuka (open society), tetapi di sana sini menimbulkan ketakutan kehilangan identitas. Agama dan suku menjadi ruang lama yang terbuka kembali untuk penegasan identitas.
Untuk itulah, sebuah strategi kebudayaan nasional terutama bagi etnisitas di Indonesia membutuhkan suatu diskusi panjang yang diharapkan mampu memberi kontribusi berharga bagi pudarnya identitas yang terpecah terhadap negara dan bangsa. Sehingga yang terjadi adalah globalisasi tidak lagi membuat orang kembali ke identitas lama kesukuan dan agama, melainkan makin terbuka dalam membangun kerja sama untuk kebersamaan sosial yang lebik baik. Dengan demikian agama dan etnisitas menyumbangkan kemajuan dalam memasuki kehidupan era globalisasi ini.


C. Pengaruh etnisitas terhadap demokrasi di Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Demokrasi, menurut Kleden, berbasiskan pada rakyat. Kekuasaan dari rakyat yang tercermin dalam seleksi pemimpin, rakyat terlibat di dalam pengambilan keputusan, dan kekuasaan harus diabdikan untuk rakyat. Rakyat di sini dimengerti, pertama, sebagai individu tiap warga negara. Karenanya demokrasi adalah sistem penyelenggaraan kekuasaan yang mendukung penghormatan hak asasi manusia sebagai individu. Individu diberi ruang di dalam negara demokrasi untuk ikut menentukan kepentingan seluruh rakyat. Kualitas demokrasi ditentukan oleh kesediaan dan kesiapan setiap warga untuk menjadi warga yang demokratis. Jika demikian, kita menghadapi masalah bila keputusan individu diserahkan kepada pemimpin suku, agama, partai. Kedua, rakyat dimengerti sebagai kelompok warga.
Dalam konteks ini, demokrasi tetap mengakomodasi dimensi sosial dari individu. Di dalam negara demokratis terdapat kemajemukan kepentingan yang tampak di dalam pengorganisasian diri masyarakat. Tiap individu dapat membentuk satu wadah untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Dalam konteks demikian, dalam pandangan Kleden, demokrasi sedang terancam bila ada kelompok kepentingan tertentu tanpa alasan mendasar tidak menghendaki kelompok kepentingan lain hidup di dalam negara demokrasi itu. Sebaliknya demokrasi bisa terwujud apabila semua kelompok termasuk kelompok agama dan etnis dibiarkan hidup dan memberikan kontribusinya bagi kehidupan bersama. Menurut Kleden, “Kita tidak dapat menilai sebuah keputusan sebagai keputusan demokratis apabila isi dari keputusan itu adalah penindasan terhadap kelompok agama tertentu atau pemangkasan etnis tertentu. Perjuangan menuju demokrasi serentak berarti perjuangan untuk mengukuhkan hak-hak suku-suku kecil atau kelompok-kelompok religius yang membentuk minoritas”.
Agama dan etnisitas bisa berperan positif terhadap demokrasi karena demokrasi mengandaikan adanya nilai-nilai seperti solidaritas, penghargaan terhadap orang lain, kesediaan berkorban, dan kerelaan menerima kekalahan. Namun agama dan etnisitas dapat merongrong demokrasi bila ada sikap arogan, menindas dan memperlakukan kelompok etnis dan agama lain secara tidak adil. Demokrasi terwujud apabila kita sanggup keluar dari arogansi dan sakit hati. Kleden menegaskan lagi bahwa karena kita hidup di dalam masyarakat majemuk, maka mestinya ada kerelaan memberi dan menerima.


BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Masyarakat Indonesia adalah suatu masyarakat yang bhineka bukan hanya karena keadaan geografisnya tapi juga karena sejarah perkembangan bangsa Indonesia itu sendiri. Oleh sebab itu bangsa Indonesia bukan hanya terjadi dari berbagai suku tetapi juga dengan berbagai kebudayaan sesuai dengan pengaruh-pengaruh kebudayaan dunia yang telah memasuki Indonesia sejak berabad-abad yang lalu. Dengan demikian kebudayaan Indonesia terjadi dari lapisan-lapisan budaya dengan ciri yang khas yang telah masuk dan berintegrasi dalam budaya lokal. Dengan itu kita dapat mengenal lapisan-lapisan budaya Hindu-Budha, budaya Islam, budaya Kristen, dan pada akhir-akhir ini, kebudayaan di era global dengan dampak negatif dan positif yang dimilikinya.
Etnisitas tentunya dapat berperan penting di dalam pembentukan karakter pembangunan bangsa. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa Indonesia adalah negara besar dan plural. Besar karena, wilayahnya yang amat luas dan jumlah penduduknya yang demikian banyak. Plural, karena kenekaragaman budaya (suku/etnis, ras, adat-istiadat, bahasa dan agama). Faktor etnisitas jika ditransformasikan secara produktif, akan menyumbangkan pertumbuhan kehidupan demokrasi yang baik dan menjadi ciri karakteristik bangsa dengan berbagai budayanya yang ada,namun tetap berbhineka tunggal ika. Tetapi juga sebaliknya bisa memicu konflik jika setiap kelompok gagal membangun sikap solidaritas sebagai warga Negara dan bangsa (nation-state).
Masyarakat Indonesia yang demokratis pun akan memperoleh dasar perkembangan yang sangat relevan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan demokrasi itu sendiri sebagai ciri utama masyarakat madani di dalam corak kebhinekaan masyarakat dan budaya Indonesia. Demokrasi merupakan sistem penyelenggaraan kekuasaan yang mendukung penghormatan hak asasi manusia sebagai individu, tanpa membedakan berbagai etnis, ras dan agama yang ada.

B. Saran
Kita menyadari bahwa ciri pluralistik telah menandai kebudayaan Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan suku bangsa bersama-sama dengan pedoman berbangsa dan bernegara, mewarnai perilaku dan kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu beriringan, saling melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan (fleksibel) dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks itu pula maka ratusan suku-suku bangsa yang terdapat di Indonesia itu perlu dilihat sebagai aset negara berkat pemahaman akan lingkungan alamnya, tradisinya, serta potensi-potensi budaya yang dimilikinya, yang keseluruhannya perlu dapat didayagunakan bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa.


DAFTAR PUSTAKA

Ignas Kleden. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3S
Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan , Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
Parsudi Suparlan, Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya dalam Jurnal Antropologi
Indonesia No. 59 Th XXIII, Mei-Agustus 1999.
Usman Pelly, “Masalah Batas-Batas Bangsa”, dalam Jurnal Antropologi Indonesia No. 54 Th
XXI, Desemberhttp://www.atn-center.org/read.asp?id_news=417&menu=Berita 1997- April 1998.
Purwanto, Hari. 2007. “Suku Bangsa dan Epspresi Kesukubangsaan”. Makalah Seminar Sehari
Memperingati Satu Tahun Wafatnya Prof. Dr. I Gusti Nguarh Bagus”, Oktober 2006.

http://www.mgb.itb.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=53&Itemid=47
http://wapedia.mobi/id/Suku_bangsa
http://ilmupedia.com/akademik/fisika/106/718-pengertian-etnik.html
http://www.setneg.go.id/index.php?Itemid=222&id=2800&option=com_content&task=view
http://fransobon.blogspot.com/2008/07/anggur-lama-kirbat-baru.html

REFORMASI= TRANSISI DEMOKRASI ?

Membicarakan gerakan reformasi di Indonesia, menyimpan banyak misteri yang belum terungkap, baik yang menyangkut politik, hukum, ekonomi maupun hubungan internasional. Bila tidak ada pemecahan masalah yang strategic dan akumulasi persoalan ini menjadi sebuah gelindingan ‘bola salju’ yang dari hari ke hari semakin besar membengkak. Oleh karena itu, masalah yang akan berkembang bukan hanya persoalan kapan badai krisis ini berakhir, namun jug termasuk ke mana arah perjalanan bangsa ini akan mengarah ?.
Paska tumbangnya kekuasaan Soeharto (bukan rejim Orde Baru), persoalan transisi demokrasi kemudian menjadi permasalahan mendesak bagi gerakan pro perubahan, sebuah gerakan yang kelak akan melahirkan masyarakat madani. Transisi demokrasi dimaknai sebagai penguatan kapasitas ekonomi-politik rakyat yang menyaratkan adanya kebebasan dalam mengekspresikan hak-hak sosial-ekonomi-politik. Masih dibatasinya kebebasan dalam mengungkapkan hak-hak sosial politik, serta belum tersedianya infrastuktur ekonomi-politik dalam gerakan pro demokrasi menyebabkan ia tertinggal jauh oleh manuver-manuver elit politik yang memegang klaim reformis.
Keadaan ini menyebabkan beberapa targetan dari transisi demokrasi tidak tercapai. Gerakan pro demokrasi tetap berdiri di pinggir panggung dan konsolidasi massa yang sempat menguat hingga pasca kejatuhan Soeharto, akhirnya mengalami pelemahan, bahkan dari dua sisi sekaligus. Sisi pertama, apa yang di tandaskan di atas yakni, ketiadaan infrastuktur ekonomi-politik dari gerakan pro demokrasi yang menyebabkan tidak pada posisi siap tempur menghadapi demokrasi liberal. Adapun sisi kedua, masih kokohnya bangunan rejim Orde Baru dalam beberapa bidang antara lain politik (partai Golkar dan partai orbais lainnya masih eksis dan semakin kuat), ekonomi (bisnis militer, korupsi kroni dan keluarga Soeharto yang belum terselesaikan).
Namun, reformasi ‘98 juga telah memberikan banyak perubahan sistem politik yang signifikan seperti pemilihan presiden langsung, pemilihan kepala daerah (PILKADA) langsung, menguatnya tatanan balance of power ala borjuasi yang terwujud dalam berbagai lembaga baru, dan sebagainya. Pada saat yang sama, tatanan ekonomi kapitalistik semakin diperkuat melalui produk perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan negara lainnya. Lengkaplah sudah hegemoni politik borjuasi dalam perpolitikan Indonesia hari ini. Secara umum ada dua tantangan yang dihadapi oleh gerakan pro perubahan, sebagai cikal bakal terbentuknya masyarakat madani, pasca tumbangnya Soeharto dan dalam menghadapi hegemoni demokrasi liberal prosedural: depolitisasi massa warisan Orba dan Demokrasi Liberal dan Apolitisasi Massa
Penguatan kapasitas ekonomi-politik rakyat menjadi sangat penting karena rejim Orde Baru mewarisi suatu tatanan masyarakat yang depolitis (dilemahkan kekuatan dan kesadaran politiknya) akibat dari sistem politik yang otoriter. Selama 32 tahun rakyat Indonesia tidak memiliki kanal politik alternatif, yang dimanifestasikan (salah satunya) dengan adanya partai politik yang sepenuhnya memiliki visi dan misi berbeda dengan partai penguasa. Hal tersebut tentunya tak bisa dilepaskan dari absolutisme militer dan modal khas Orde Baru yang didukung dengan mesin politik bernama Golongan Karya. Kuatnya gejala depolitisasi massa pada rejim Orde Baru juga bisa kita lihat dari organisasi-organisasi yang ada pada waktu itu. Karakter organisasi yang muncul pada jaman Orde Baru adalah organisasi yang korporatis terhadap rejim seperti KNPI untuk pemuda, HKTI untuk petani, SPSI untuk buruh, SMPT untuk mahasiswa, dsb. Kondisi ini di kemudian hari memunculkan pragmatisme massa dan semakin menguatkan kelompok status quo.
Tumbangnya Soeharto sempat mencairkan kebekuan politik tersebut namun, belum menjawab persoalan depolitisasi yang juga sedang terjadi di tengah rakyat. Munculnya berbagai organisasi massa maupun partai politik yang ingin tampil “sepenuhnya berbeda” pada tingkat lokal, memang sempat menjadi muara bagi massa rakyat. Namun, harus diakui organisasi-oraganisasi ini belum mampu berbicara pada skala nasional. Keadaan ini secara horisontal bermakna, tidak ada kekuatan atau organisasi yang memiliki anggota dan massa yang cukup besar untuk dapat bertarung secara riil dalam persoalan keseharian massa di tingkatan bawah.
Kondisi ini kemudian menghadirkan persoalan yang lebih berbahaya, perjuangan politik menjadi ditabukan dan lebih memilih perjuangan ekonomi. Kekecewaan terhadap gerakan politik—yang hasilnya selalu diambil oleh borjuasi oportunis atau elit politik—membuat gerakan sosial kemudian malas merambah ke dunia yang seharusnya menjadi medan pertarungannya yang sesungguhnya. Cukup sering kita dengar dari berbagai kalangan – LSM, kelompok Pekerja, Kelompok Tani, atau kelompok pengorganisiran sosial lain- yang menyatakan bahwa urusan mereka adalah soal bagaimana anggota atau massa yang diorganisirnya sejahtera sedangkan soal politik itu urusan gerakan mahasiswa atau partai politik. Suatu pernyataan yang benar secara prinsip namun salah dalam pemahaman. Benar tugas organisasi adalah membuat anggota atau kelas yang diorganisirnya mencapai kesejahteraan tetapi, salah jika melupakan bahwa kesejahteraan hanya dapat diperoleh apabila kekuasaan politik telah direbut oleh kelas yang akan menghapuskan penindas